Di Indonesia, bentuk outsourcing yang
paling luas dikenal adalah bentuk penyediaan jasa pekerja buruh. Cara
ini yang paling mudah dilakukan oleh yayasan tenaga kerja yang memang
bermental calo, ketimbang menyediakaan pekerjaan borongan. Karena kalau
menyediakan pekerjaan borongan, perusahaan outsourcing pasti
harus mengadakan alat-alat produksi, teknologi, manajemen, dll, yang
lebih sulit. Lebih gampang menyediakan tenaga kerja (manusia) untuk
dijual.
Sebetulnya, di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Outsourcing hanya dibolehkan di lima bidang pekerjaan, yakni kantin (catering), kebersihan (cleaning service), satpam, kurir (delivery/antar-jemput) dan pertambangan. Jika, pengusaha melanggar dengan menempatkan pekerja/pekerjaan outsourcing di luar lima bidang tersebut, maka demi hukum status hubungan kerja buruh outsourcing yang terikat dengan yayasannya, beralih menjadi hubungan kerja buruh dengan pemberi kerja (perusahaan).
Tapi, karena perusahaan ingin menekan biaya produksi menjadi semurah mungkin (penghematan), maka praktek outsourcing merajalela
di bagian produksi utama. Pengusaha pun melakukan pelanggaran terhadap
UU Ketenagakerjaan. Tercatat lebih dari 80 persen praktek outsourcing, adalah pelanggaran.
Jika tidak dilawan, maka sangat mungkin outsourcing berkembang
hingga ke bagian produksi utama, yang bukan lagi dengan pelanggaran.
Tetapi, dengan cara merevisi UU. Pengusaha mendorong pemerintah untuk
merevisi UU untuk memperluas bidang outsourcing. Setiap tahun, gerakan buruh pasti menolak revisi UUK versi pemerintah.
Itu
lah mengapa, Asian Development Bank atau ADB (Bank Pembangunan
Asia)—sebagai perwakilan investor asing, yang rajin memberikan utang
kepada pemerintah Indonesia—menolak penghapusan outsourcing.
UU
No. 13 Tahun 2003 mengandung skenario pemberlakuan sistem tenaga kerja
fleksibel atau mudah diatur, mudah dikendalikan oleh pengusaha. Ada tiga
lapis fleksibilitas tenaga kerja yang terkandung dalam UU tersebut,
yaitu pelatihan kerja/magang, kontrak dan outsourcing. Pembuatan
UUK 13 dilakukan secara misterius oleh Tim Kecil Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan disahkan setelah mendapat desakan dari perwakilan IMF
(International Moneter Fund), Daniel Citrin.
Habis Manis, Sepah Dibuang
Para pembela Outsourcing selalu menekankan pentingnya outsourcing, karena (1) penghematan; (2) pemerataan kesempatan kerja; (3) memperluas lapangan pekerjaan.
Penghematan atau efisiensi bertujuan memperbesar keuntungan pengusaha (kapitalis). Karena, sistem kerja outsourcing menyediakan
kemudahan bagi pengusaha untuk lepas tanggungjawab dari memberikan
tunjangan dan hak-hak lainnya kepada buruh. Selain itu, yang paling
penting bagi pengusaha, adalah buruh mudah diganti/dipecat (fleksibel)
tanpa pesangon, karena pengusaha sebagai pihak yang mempekerjakan tidak
terikat perjanjian kerja dengan buruh yang dipekerjakan. Buruh terikat
perjanjian kerja dengan yayasan tenaga kerjanya. Semakin mudah dipecat,
maka buruh semakin sulit berserikat, posisi tawar buruh semakin rendah.
Akhirnya, pengusaha semakin mudah merampas hak-hak buruh.
Outsourcing dianggap
memeratakan kesempatan kerja, karena pekerjaan (produksi) dapat
digilir, tidak hanya diberikan kepada buruh tertentu (karyawan tetap)
saja. Begini, misalkan suatu pabrik memerlukan 200 buruh, maka pengusaha
mempekerjakan 200 buruh outsourcing dari yayasan X selama 5
tahun. Tahun ke-6, pengusaha mengganti 200 buruh X tadi dengan 200 buruh
lainnya. Buruh lama dipecat, buruh baru datang. Artinya, sebetulnya
tidak terjadi penambahan lapangan kerja baru.
Justru,
pengusaha membuang buruh lama, dianggap sebagai rongsokan. Pengusaha
mendatangkan buruh-buruh baru yang lebih segar, tidak berserikat dan
penurut. Jika cara seperti ini, tenaga kerja usia 30 tahun ke atas bisa
dianggap tidak produktif lagi! Masyarakat menampung pengangguran, yang
merupakan lahan kemiskinan, kejahatan, pelacuran, dan konflik.
Kurangnya
lapangan pekerjaan disebabkan oleh industri nasional yang lemah.
Kesalahan pembangunan industri telah dilakukan sejak masa Orde Baru,
yang tidak membangun industri berat (hulu) ketika oil boom (booming
minyak) tahun 70an. Di masa reformasi, sejak jaman Megawati, pemerintah
rajin menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jumlahnya ratusan
kepada pihak asing. Tidak ada industri yang kuat, maka tidak ada
lapangan pekerjaan.
Akhirnya,
pemerintah hanya mengharapkan sepenuhnya penyediaan lapangan pekerjaan
kepada investor. Pemerintah dan pengusaha selalu menuduh aksi-aksi buruh
mengganggu investasi. “Sektor formal hanya menyerap 30 persen angkatan
kerja, sisanya 70 persen terserap di sektor informal. Kita ingin
memperbanyak lapangan pekerjaan di sektor formal, makanya investasi
harus masuk. Kalau mogok nasional terus, investor kabur,” begitu lah
kata seorang perwakilan APINDO (pengusaha)
Sekali lagi, ketiadaan lapangan pekerjaan sesungguhnya terjadi karena pemerintah gagal membangun industri nasional.
(Sarinah, S.Ikom) SPAI FSPMI