Kamis, 04 Oktober 2012

Outsourcing Merugikan Masyarakat

Outsourcing atau alih daya merupakan penyerahan sebagai pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya. Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dikenal dua bentuk outsourcing, yaitu pertama, perjanjian pemborongan pekerjaan, misalkan perusahaan X menyerahkan pekerjaan penyediaan makanan (catering) kepada perusahaan Y. Kedua, penyediaan jasa pekerja buruh, contoh: perusahaan X menyediakan buruh-buruh untuk bekerja di perusahaan Y.
Di Indonesia, bentuk outsourcing yang paling luas dikenal adalah bentuk penyediaan jasa pekerja buruh. Cara ini yang paling mudah dilakukan oleh yayasan tenaga kerja yang memang bermental calo, ketimbang menyediakaan pekerjaan borongan. Karena kalau menyediakan pekerjaan borongan, perusahaan outsourcing pasti harus mengadakan alat-alat produksi, teknologi, manajemen, dll, yang lebih sulit. Lebih gampang menyediakan tenaga kerja (manusia) untuk dijual.
Sebetulnya, di dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Outsourcing hanya dibolehkan di lima bidang pekerjaan, yakni kantin (catering), kebersihan (cleaning service), satpam, kurir (delivery/antar-jemput) dan pertambangan. Jika, pengusaha melanggar dengan menempatkan pekerja/pekerjaan outsourcing di luar lima bidang tersebut, maka demi hukum status hubungan kerja buruh outsourcing yang terikat dengan yayasannya, beralih menjadi hubungan kerja buruh dengan pemberi kerja (perusahaan).
Tapi, karena perusahaan ingin menekan biaya produksi menjadi semurah mungkin (penghematan), maka praktek outsourcing merajalela di bagian produksi utama. Pengusaha pun melakukan pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan. Tercatat lebih dari 80 persen praktek outsourcing, adalah pelanggaran.
Jika tidak dilawan, maka sangat mungkin outsourcing berkembang hingga ke bagian produksi utama, yang bukan lagi dengan pelanggaran. Tetapi, dengan cara merevisi UU. Pengusaha mendorong pemerintah untuk merevisi UU untuk memperluas bidang outsourcing. Setiap tahun, gerakan buruh pasti menolak revisi UUK versi pemerintah.
Itu lah mengapa, Asian Development Bank atau ADB (Bank Pembangunan Asia)—sebagai perwakilan investor asing, yang rajin memberikan utang kepada pemerintah Indonesia—menolak penghapusan outsourcing.
UU No. 13 Tahun 2003 mengandung skenario pemberlakuan sistem tenaga kerja fleksibel atau mudah diatur, mudah dikendalikan oleh pengusaha. Ada tiga lapis fleksibilitas tenaga kerja yang terkandung dalam UU tersebut, yaitu pelatihan kerja/magang, kontrak dan outsourcing. Pembuatan UUK 13 dilakukan secara misterius oleh Tim Kecil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan disahkan setelah mendapat desakan dari perwakilan IMF (International Moneter Fund), Daniel Citrin.
Habis Manis, Sepah Dibuang
Para pembela Outsourcing selalu menekankan pentingnya outsourcing, karena (1) penghematan; (2) pemerataan kesempatan kerja; (3) memperluas lapangan pekerjaan.
Penghematan atau efisiensi bertujuan memperbesar keuntungan pengusaha (kapitalis). Karena, sistem kerja outsourcing menyediakan kemudahan bagi pengusaha untuk lepas tanggungjawab dari memberikan tunjangan dan hak-hak lainnya kepada buruh. Selain itu, yang paling penting bagi pengusaha, adalah buruh mudah diganti/dipecat (fleksibel) tanpa pesangon, karena pengusaha sebagai pihak yang mempekerjakan tidak terikat perjanjian kerja dengan buruh yang dipekerjakan. Buruh terikat perjanjian kerja dengan yayasan tenaga kerjanya. Semakin mudah dipecat, maka buruh semakin sulit berserikat, posisi tawar buruh semakin rendah. Akhirnya, pengusaha semakin mudah merampas hak-hak buruh.
Outsourcing dianggap memeratakan kesempatan kerja, karena pekerjaan (produksi) dapat digilir, tidak hanya diberikan kepada buruh tertentu (karyawan tetap) saja. Begini, misalkan suatu pabrik memerlukan 200 buruh, maka pengusaha mempekerjakan 200 buruh outsourcing dari yayasan X selama 5 tahun. Tahun ke-6, pengusaha mengganti 200 buruh X tadi dengan 200 buruh lainnya. Buruh lama dipecat, buruh baru datang. Artinya, sebetulnya tidak terjadi penambahan lapangan kerja baru.
Justru, pengusaha membuang buruh lama, dianggap sebagai rongsokan. Pengusaha mendatangkan buruh-buruh baru yang lebih segar, tidak berserikat dan penurut. Jika cara seperti ini, tenaga kerja usia 30 tahun ke atas bisa dianggap tidak produktif lagi! Masyarakat menampung pengangguran, yang merupakan lahan kemiskinan, kejahatan, pelacuran, dan konflik.
Kurangnya lapangan pekerjaan disebabkan oleh industri nasional yang lemah. Kesalahan pembangunan industri telah dilakukan sejak masa Orde Baru, yang tidak membangun industri berat (hulu) ketika oil boom (booming minyak) tahun 70an. Di masa reformasi, sejak jaman Megawati, pemerintah rajin menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jumlahnya ratusan kepada pihak asing. Tidak ada industri yang kuat, maka tidak ada lapangan pekerjaan.
Akhirnya, pemerintah hanya mengharapkan sepenuhnya penyediaan lapangan pekerjaan kepada investor. Pemerintah dan pengusaha selalu menuduh aksi-aksi buruh mengganggu investasi. “Sektor formal hanya menyerap 30 persen angkatan kerja, sisanya 70 persen terserap di sektor informal. Kita ingin memperbanyak lapangan pekerjaan di sektor formal, makanya investasi harus masuk. Kalau mogok nasional terus, investor kabur,” begitu lah kata seorang perwakilan APINDO (pengusaha)
Sekali lagi, ketiadaan lapangan pekerjaan sesungguhnya terjadi karena pemerintah gagal membangun industri nasional.

(Sarinah, S.Ikom) SPAI FSPMI