Isra' Mi'raj merupakan peristiwa di mana Nabi Muhammad Saw,
dalam suatu malam melaksanakan perjalanan dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsa. Dengan bimbingan malaikat Jibril, beliau mendapatkan
gambaran tentang tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Peristiwa itu tentu
tidak akan dilupakan oleh kaum muslimin, karena perintah sholat lima
waktu sehari semalam diberikan oleh Allah saat Isra' dan Mi'raj.
Bagi umat muslim, peringatan Isra' Mi'raj merupakan sebuah penghormatan
serta cerminan cinta umat muslim kepada figur tauladan yang mempesona,
yakni Nabi Muhammad Saw. Adanya ritualisme peringatan Isra' Mi'raj bukan
semata-mata kegiatan seremonial belaka, tetapi mempunyai arti penting
dalam mengilhami nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman untuk
menyempurnakan perjalanan hidup manusia menuju kebahagiaan di dunia dan
akherat.
Secara historis, dalam kitab Mukhtarul Ahadits An-Nabawiyah, dijelaskan
bahwa perjalanan spritual Nabi Muhammad, diawali dengan ujian berat di
mana beliau yang baru saja ditinggal wafat istri tercintanya, Siti
Khodijah dan tak lama kemudian disusul kematian pamannya, Abu Tholib.
Namun, semua keprihatinan itu menjadikan beliau semakin dekat kepada
Sang Kholiq.
Suasana genting yang dialami Nabi Muhammad tentu sangat membutuhkan
keteguhan keyakinan atas apa yang telah diperjuangkanya. Maka, Allah Swt
memberikan petunjuk melalui suatu peristiwa yang belum pernah dialami
oleh beliau sebelumnya, yaitu peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Pesan Moral
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, peringatan Isra'
Mi'raj ini dapat dijadikan sebagai modal motivasi oleh para pemimpin
dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan yang sedang melanda bangsa
saat ini. Para pemimpin di negeri ini diharapkan mampu meneladani
keteguhan Nabi Muhammad Saw. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad sebagai
seorang rasul dalam situasi dan kondisi apa pun tetap teguh dalam
menjalankan tugasnya untuk mengubah segala keburukan demi kebaikan
bangsa.
Melihat realita problem yang melanda bangsa Indonesia sekarang ini,
para pemimpin selayaknya mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam spirit perjuangan Nabi Muhammad. Dengan harapan,
pemimpin mampu menjalankan sistem tatanegara secara lebih baik penuh
rasa cinta dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
Meski kita semua mengerti bahwa dalam peringatan Isra' Mi'raj ini,
masih banyak kisruh yang menimpa bangsa ini. Sebut saja, masalah
korupsi, makelar kasus dan makelar pengadilan yang masih berkecamuk
dalam diri bangsa ini. Jika rentetan kasus ini dibiarkan berlarut-larut,
lantas, mau dibawa ke mana bangsa ini kalau yang berpendidikan saja,
mata batin dan moralitasnya buta atas ulah egonya masing-masing demi
kenikmatan keduniawian.
Maka, benar apa yang dikatakan Din Syamsudin (2010), seorang tokoh
Muhammadiyah yang menilai bahwa masalah utama bangsa Indonesia adalah
buta aksara moral. Apa yang dikatakan Din Syamsudin memang bukan tanpa
alasan. Buta aksara moralitas yang mendera bangsa ini lebih berbahaya
dibandingkan buta aksara huruf Latin dan Arab. Bukan hanya lapisan bawah
dan kaum elite, bahkan kaum terdidik juga mengalami buta aksara moral.
Dalam peringatan peristiwa Isra' Mi'raj ini, tentu bukan sekedar
berkontemplasi atas kejadian historis masa lalu. Namun, peringatan Isra
Mi'raj juga memiliki makna berupa pesan untuk membangun moralitas
bangsa. Itulah sebabnya, mengapa 'oleh-oleh' yang dibawa Rasul dari
perjalalan Isra' Mi'raj ini adalah berupa kewajiban sholat. Jika digali
lebih dalam, terkandung pelbagai makna yang patut kita renungkan dan
kita aktualisasi secara bersama-sama dalam mengarungi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pertama, perintah sholat. Sesungguhnya apa yang terkandung dalam sholat
bukan sekedar sujud, rukun dan sebagainya. Tetapi, sholat merupakan
penyerahan total kepada Allah. Tak ada yang pantas disembah kecuali
Allah. Adapun fungsi dari sholat itu sendiri adalah untuk mencegah
perbuatan keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut: 5)
Dengan demikian, kita bisa mengukur sejauh mana sholat yang telah kita
lakukan selama ini. Apakah dengan melakukan sholat kita masih sering
melakukan kemungkaran dan kekejian terhadap orang lain? Apakah kita
masih sering melakukan praktik korupsi yang merugikan bangsa? Apakah
kita masih mengumbar nafsu demi kepuasan diri kita sendiri? Apabila
memang masih demikian, berarti kita belum sepenuhnya mengimplementasikan
esensi dari perintah sholat itu sendiri.
Kedua, perlu adanya optimisme dalam mengarungi liku-liku kehidupan.
Hidup tidak akan selamanya hitam, penuh dengan kabut. Di sana masih ada
secercah sinar yang akan menerangi jagad raya ini. Sebuah sinar yang
terpancar dari Allah yang mampu mengobati duka-lara manusia. Artinya,
sesusah apa pun dalam perjalanan untuk meraih kebahagiaan, manusia
diharapkan tidak terjerumus dalam kubangan pragmatis.
Maka, sangat tepat apabila peringatan Isra' Mi'raj ini dijadikan
kontemplasi untuk menghidupkan kembali esensi dari makna sholat.
Artinya, sholat tidak hanya menjadi amalan yang kering dan mekanis.
Tetapi, bagaimana perintah sholat dijalankan dengan mengimplementasikan
esensi dari tujuannya, yakni mampu mencegah hal yang keji dan mungkar.
Sehingga, dalam situasi dan kondisi apa pun kiranya moralitas bangsa
tetap terjaga dari hal yang berbau pragmatisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar