Sebuah Potret Pasca Reformasi
SECARA
legal, tonggak reformasi di arena politik perburuhan di Indonesia,
dimulai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja no. 5 tahun
1998, tentang pendaftaran serikat buruh. Ini sekaligus mengakhiri era
serikat buruh tunggal yang dikuasai FSPSI (Federasi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia).
Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3
konfederasi (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia,
KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi
Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat
pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi
serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari
empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi
dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota
mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Sementara itu, data
tahun 2002 yang dikeluarkan FES menunjukkan, jumlah populasi serikat
buruh tersebut berada dalam situasi di mana jumlah anggota serikat
mencapai lebih dari delapan juta orang dan tingkat unionisasi sebesar
sembilan persen dari total angkatan kerja atau 25 persen dari total
angkatan kerja di sektor formal. Data verifikasi terakhir yang dilakukan
Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan
konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja, meskipun,
seperti juga kedua konfederasi yang lain, mengalami penurunan jumlah
anggota yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok. Ciri pertama, adalah pada sifatnya yang rentan terhadap perpecahan; kedua, adalah perbedaan orientasi serikat; dan ketiga, sifatnya yang eksklusif. Ciri-ciri tersebut dijelaskan lebih jauh di bawah ini.
Kategorisasi Serikat
Asal-muasal serikat menunjukkan kerentanan dan kurangnya keterampilan
berorganisasi di kalangan serikat pekerja/serikat buruh, yang
menyebabkan pecahnya serikat dan pemisahan diri sekelompok orang untuk
membentuk organisasi serikat pekerja/serikat buruh baru. Munculnya
serikat-serikat baru dengan nama yang sama dengan dibubuhi kata
‘reformasi’ atau ‘baru’ di belakangnya, antara lain membuktikan
kerentanan tersebut.
Mengacu pada sejarah SB/SP masa Orde Baru, serikat-serikat buruh yang
ada saat ini dapat digolongkan setidaknya menjadi tiga kelompok besar
yakni, kelompok SPSI, kelompok eks-SPSI, dan kelompok non-SPSI.
Kelompok eks-SPSI adalah serikat sektoral yang memisahkan diri dari
SPSI, sementara kelompok non-SPSI adalah serikat yang samasekali tidak
memiliki keterkaitan dengan atau independen dari SPSI. Kelompok
non-SPSI ini juga dapat dikelompokkan setidaknya dalam dua kategori
yakni, kelompok serikat di masa Orde Lama yang muncul kembali dan SB/SP
yang sama sekali baru. Serikat buruh baru kategori terakhir ini selain
muncul dengan basis buruh sektor industri manufaktur, juga muncul di
sektor jasa antara lain keuangan, pariwisata, dan jurnalistik. Dasar
kategorisasi tersebut tergambarkan dengan jelas dalam pohon silsilah
asal mula serikat buruh. Sebagian besar SB/SP yang berdiri, secara
institusional maupun individual, memiliki keterkaitan dengan SPSI. Ini
menjelaskan mengapa di serikat-serikat pekerja pecahan SPSI, hampir
tidak ada pendekatan pengorganisasian dan strategi baru yang berbeda
dari SPSI.
Pohon silsilah juga menunjukkan, perpecahan serikat tidak hanya
melanda SPSI, tetapi juga serikat-serikat eks-SPSI dan non-SPSI.
Perbedaan-perbedaan yang sifatnya pragmatis--dalam arti lebih
disebabkan oleh hal-hal praktis daripada hal-hal prinsip—lebih mewarnai
sebab perpecahan serikat (lihat juga Hadiz 2005). Pada umumnya
perpecahan diikuti oleh perebutan atau pembagian anggota. Ada kalanya
anggota bahkan tidak tahu bahwa di tingkat nasional serikatnya sudah
pecah. Keputusan anggota untuk bergabung di salah satu serikat yang
pecah lebih didasari oleh kedekatan personal dengan para pengurus
dibanding hal-hal yang bersifat prinsip organisasi.
Eksklusivisme adalah ciri ketiga SB/SP. Ada dua jenis eksklusivisme di
sini: antara SB/SP dengan kelompok masyarakat lain dan di antara
serikat sendiri. Arena dan agenda perjuangan serikat sangat terbatas
pada isu-isu hubungan kerja di dalam pabrik, sementara dinamika
sosial-ekonomi-politik di luar dinding pabrik luput dari perhatian
(lihat AKATIGA-TURC-LABSOSIO, 2006). Tuntutan-tuntutan dalam aksi buruh
juga tidak menarik bagi kelompok-kelompok masyarakat lain untuk
mendukung dan memperluas dukungan terhadap perjuangan buruh. Hubungan
dan aliansi SB/SP dengan kelompok masyarakat lainnya seperti kelompok
tani, nelayan, dan lain-lain sangat terbatas. Kalaupun terjadi aliansi
dengan kelompok-kelompok miskin lainnya, aliansi tersebut sifatnya di
permukaan saja dan bukan merupakan strategi yang permanen dan melekat
dalam keseluruhan strategi perjuangan mereka. Eksklusivisme juga melanda
hubungan di antara sesama serikat, yang disebabkan oleh perebutan
pengaruh dan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Situasi itu selain
menjadi bibit perpecahan, juga menyebabkan soliditas gerakan serikat
pekerja/serikat buruh menjadi rentan.
Pergeseran politik keserikatburuhan yang cukup penting tersebut,
terjadi dalam kerangka sistem hubungan industrial di Indonesia yang
tidak berubah yakni, Hubungan Industrial Pancasila. HIP berfilosofikan
hubungan perburuhan atau hubungan buruh-majikan atau hubungan
industrial yang serba harmonis, di mana posisi buruh dan majikan adalah
setara dan keduanya memiliki kepentingan yang sama serta di mana
negara berperan untuk mengayomi keduanya (lihat juga Hadiz 1997;
Manning 1998; Ford 2001). Meskipun istilah ini makin jarang terdengar
tetapi, secara prinsip konsep ini masih mendominasi para aktor hubungan
industrial. Meskipun demikian, dalam praktik untuk mengakomodasi
tuntutan modal global dalam kerangka persaingan antar negara dalam
merebut investasi, pendulum keberpihakan negara lebih sering bergerak
ke arah majikan. Berbagai kebijakan yang melonggarkan ruang gerak
pengusaha diciptakan, yang membawa implikasi langsung pada meningkatnya
tantangan bagi pengorganisasian buruh.
Dimulainya era kebebasan berserikat, sangat bertolak belakang dengan
situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis ekonomi telah meledakkan
angka pengangguran, karena bergugurannya unit-unit usaha yang
mengandalkan mata uang dollar AS dalam transaksi input-output
produksinya. Pabrik-pabrik tutup meninggalkan barisan penganggur baru
yang adalah anggota serikat buruh. Penting dicatat, sebelum krisis
maupun setelahnya, serikat buruh di Indonesia didominasi oleh buruh
kerah biru atau buruh pabrik. Ketika krisis melanda, barulah
bermunculan serikat-serikat buruh di kalangan buruh kerah putih
terutama, buruh sektor perbankan dan keuangan serta pariwisata. Para
penganggur tersebut praktis menanggalkan keanggotaannya dari organisasi
serikat buruh. Ini berarti populasi anggota serikat buruh berkurang.
Pada saat yang sama, dengan persyaratan minimum anggota yang sangat
mudah dipenuhi (10 orang sudah dapat mendirikan serikat buruh), muncul
serikat-serikat buruh baru.
Makna Kebebasan Berserikat
Implikasi yang muncul dari kondisi obyektif ketenagakerjaan tersebut
adalah terjadinya konflik di antara serikat, karena memperebutkan
anggota. Konflik ini rupanya sudah diantisipasi oleh negara, baik di
dalam UU SP/SB no. 21 tahun 2000 maupun dalam UU Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan no.04 tahun 2004, yang membuat kategorisasi
konflik dengan menyebut konflik antar serikat sebagai salah satu
kategorinya.
Situasi yang kontradiktif tersebut menimbulkan pertanyaan, apa makna
kebebasan berserikat ketika, kondisi objektif ketenagakerjaan di
Indonesia sangat tidak mendukung lahirnya serikat buruh yang kuat?
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana para elite serikat buruh baru membaca
kondisi objektif tersebut dan apa motif utama melahirkan
serikat-serikat buruh baru? Pertanyaan pertama mudah dijelaskan dalam
kerangka arus besar proses demokratisasi dan tata pergaulan
internasional. Reformasi yang terjadi di Indonesia, merupakan lambang
ditinggalkannya sistem pemerintahan yang otoriter dan dimulainya
pemerintahan yang demokratis. Berbagai instrumen demokrasi
diselenggarakan termasuk, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan
SB/SP (Tornquist 2007).
Jawaban terhadap pertanyaan kedua adalah sebuah konsensus dan
konsekuensi logis dari dibukanya sumbat kebutuhan berorganisasi:
manifestasi keinginan berorganisasi dan sebuah euphoria, sebuah
perayaan dari keinginan yang terpendam. Hasilnya, hampir sepuluh tahun
masa kebebasan berorganisasi, serikat-serikat pekerja/buruh tumbuh dan
layu atau tumbuh dan berkembang. Mereka yang layu sebelum berkembang
adalah mereka yang sekedar ikut perayaan dan mencoba menggunakan
kesempatan yang ada.
Tantangan Serikat
Tidak ada SB/SP yang bisa mengelak dari tantangan tersebut. Pada saat yang sama, kreativitas, inovasi pengorganisasian, dan tindakan kolektif adalah kebutuhan yang tak bisa lagi ditunda. Hanya melalui aksi kolektif yang terorganisasi secara rapi dan sistematislah, agenda SB/SP untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan pekerja/buruh akan lebih mudah dilakukan dan dicapai.
dikutip dari Indrasari Tjandraningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar