Senin, 11 Juni 2012

Pandangan Buya Hamka tentang Akal dan Tanda Orang Berakal


 AKAL

Apakah yang dikatakan akal? ‘Aqal diambil dari kata aslinya yang artinya, ikatan. Nama ini telah cocok betul dengan pengambilan, karena ibarat tali mengikat unta, maka akal itu mengikat manusia. Dalam pepatah Melayu pun telah ada: “Mengikat binatang dengan tali, mengikat manusia dengan akalnya.”
Jadi sebagaimana tali mengikat unta supaya jangan lari, akal manusia mengikatnya pula supaya jangan lepas lelas saja mengikuti hawa nafsunya.
Amir bin Abdul Kudus berkata :
Pada istilah, artinya makna yang dimaksud dengan akal setelah dipindahkan daripada maknanya yang asli menurut bahasa itu, ialah “Pengetahuan akan perkara yang mesti diketahui.” Dia pun terbagi dua, pertama yang didapat dengan panca indera, yang kedua permulaannya dalam diri.
Yang didapat dengan pendapatan (pengetahuan yang didapat melalui) panca indera ialah seumpama bentuk yang terlihat dengan mata, sehingga dapat ditentukan merah atau putihnya, besar atau kecilnya. Atau suara yang didengar oleh telinga, sehingga dapat ditentukan merdu atau badaknya, jauh atau hampirnya. Demikian juga perasaan lidah asin manis atau asamnya. Atau bau yang didapat, harum atau busuknya. Perasaan kulit, kesat atau lunaknya.
Adapun akal yang permulaannya dari dalam diri sendiri itu, adalah seumpama pendapat bahwa suatu perkara ada atau tidak ada, atau suatu benda qadim atau hadis, bahwasanya gerak dan diam tidak bisa berkumpul atau satu itu kurang dari dua. Hal yang begini tidaklah akan sunyi daripada orang yang berakal. Asal saja sudah tahu dia hal yang mesti-mesti itu (dharuri) sudah boleh dia dinamakan sempurna akal.
Makna demikian tidaklah kesalahan dengan ilmu modern. Akal dengan ilmu itu satu adanya. Karena menurut pengetahuan akal itu kumpulan daripada pendapatan (pengetahuan yang diperoleh) panca indra, kemauan (iradah) dan pikiran.
Ada juga yang mengatakan bahwa akal itu pendapat yang diusahakan, yang menyebabkan manusia dapat mengatur pekerjaannya dengan beres dan mengetahui akibat atau laba dan ruginya.
Suatu kaum pula berkata, bahwa dengan begitu saja belumlah dapat dia dihitung seorang berakal. Orang yang berakal ialah orang cerdik cendikia, arif bijaksana, tahu meagak- meagihkan (mempertimbangkan). Seorang Hukama berkata:
“Penderitaan menyebabkan putih rambutnya yang hitam, pengalaman membasuh jantungnya, kejadian selalu hari yang dilihat didengarnya memupuk jiwanya (peristiwa-peristiwa yang dialami tidak dibiarkan berlalu saja, tapi dicari hikmahnya). Karena percobaannya (pengalaman pahit/cobaaan hidup), kenallah dia akan awal dan akhir, pangkal dan akibat. Orang beginilah yang patut disebut berakal. Adalah dia dalam kaumnya mengarah-arahi (dalam kehidupan bermasyarakat seorang berakal senantiasa membimbing siapa pun agar tak tergelincir berbuat salah), Nabi di dalam umatnya, menjadi pilihan Tuhan buat mengirit merentangkan (mengarahkan sesuai dengan agama), berjalan di barisan muka. Maka mengalirlah dari sumber ketangkasannya dan dari kecerdikan akalnya serta lautan ilmunya, segala perkara yang dapat ditiru diteladan, dijadikan pedoman di dalam tujuan hidup.”
Maka orang berakal demikian adalah orang yang telah mendapat inayat/inayah dari Allah. Barangsiapa yang mendapat inayat/inayah demikian lebih kaya dia daripada milyuner. Sebab dari batinnya memancar cahaya hidayah Rabbaniyah. Hatinya penuh dengan kebijaksanaan, sangkanya baik, pengharapannya besar. Orang lain hanya menilik seseuatu dari kulitnya sedang dia sampai ke dalam isinya. Sukar dia tergelincir dengan sengaja.
Menurut pendapat-pendapat Ahli-Ahli Ilmu Jiwa, akal bukanlah suatu sifat yang berdiri sendiri, tetapi lebih daripada tiga sifat jiwa, yaitu pikiran, kemauan, dan perasaan (al-wijdaan, al-fikr, al-iradah): rasa, periksa dan karsa.
Panca indra yang lima adalah alat-alat untuk menangkap segala sesuatu yang maujud untuk dimasukkan ke dalam pikiran. Timbulnya pikiran diikuti oleh kemauan hendak menyelidiki, dan perasaan yang timbul baik senang atau sakit, gembira atau sedih ketika melihatnya, semuanya menimbulkan pengetahuan atas yang dilihat itu. Maka itulah yang bernama akal. Ketiga-tiganya itu bekerja sama menghadapi soal-soal yang tengah dihadapi, lantaran dibawa oleh panca indra itu.
Misalnya seseorang yang tengah berjalan di suatu tempat yang sepi, alam kelihatan indah, maka timbullah padanya perasaan, adakalanya hati-iba melihat keindahan, ketakjuban dan kesepian karena tidak ada teman seorang jua. Melihat keindahan itu, timbullah kemauannya (iradah)  hendak mengetahui sebab dan musabab daripada segala keindahan itu, maka mulailah bergerak jalan pikirannya. Kumpulan kerjasama ketiganya itu bernama akal. Di sana timbullah ma’ rifah (pengetahuan). Kian lama orang hidup, kian berasalah ia akan soal-soal yang akan memperluas pikiran, memperteguh kemauan dan mendorong untuk menggunakan pikiran.
Di tiap-tiap manusia tidaklah sama kuat atau lemahnya ketiga sifat itu. Tetapi, tidak pula ada orang yang hanya ada padanya salah satu saja. Ada orang yang amat halus perasaannya, sehingga dia menjadi seorang ahli seni ternama. Tetapi di dalam menciptakan seninya, selalu dipakainya juga pikiran dan kemauan. Ada failasuf yang amat dalam pikirannya, tetapi di dalam menciptakan pikiran yang besar itu,dia tidak dapat melepaskan alat kemauan dan dan perasaan dirinya. Dan ada pula seorang kepala perang yang keras kemauan, atau seorang ahli negara yang mempunyai kemauan teguh hendak memerdekakan negaranya daripada penjajahan asing, tetapi kemauan yang keras yang itu, asal mulanya adalah karena ditekan oleh perasaan sedih melihat nasib bangsanya, atau murka melihat kezaliman penjajahan asing, lalu dipergunakan segenap  pikirannya untuk mencapai kemauannya itu.
Pengetahuan tentang susunan syair dan roman yang indah dari seorang pujangga, adalah hasil dari rasa keindahan yang disokong oleh pikiran dan perasaan yang halus.  Pengetahuan tentang satu pikiran filsafat yang tinggi, adalah hasil suatu pikiran yang besar, disokong oleh perasaan dan pikiran. Dan ilmu peperangan dan perjuangan adalah hasil daripada kemauan yang teguh, disokong oleh pikiran yang sehat dan perasaan yang mendesak.
Kadang-kadang ada juga ahli ilmu jiwa yang mengatakan bahwa yang pertama sekali , bukanlah pikiran, melainkan pengetahuan. Pengetahuan itu datang lebih dulu setelah di ” import ” oleh kelima panca indra ke dalam diri.Tetapi pengetahuan (ma’rifah) pada rasa kita tidaklah mungkin (sebagaimana yang kita tahu), sebelum pikiran berjalan. Sebab kerapkali meskipun mata kita mengembang luas dan telinga kita mendengar nyaring, karena perhatian kita tidak terhadap ke sana (syu’ur), maka tidaklah ada pengetahuan kita tentangnya (saat kita tidak berkonsentrasi, sekalipun penglihatan mata jelas dan pendengaran telinga tajam, biasanya kita luput memahami soal yang kita sedang selidiki). Seorang yang berjalan seorang diri tengah memikirkan suatu soal dengan sangat tekun, tidaklah dia sadar seketika ditegur (disapa) orang yang bertemu di jalan. Sudah melangkah jauh, baru dia sadar kembali setelah pikirannya terhadap kepada siapa yang menyapanya (ia tersadar setelah pikiran mulai berkonsentrasi pada orang yang sebelumnya menegur, bertanya-tanya siapa yang menyapa dirinya barusan itu.).
Inilah rahasia akal, menurut pendapat ahli-ahli ilmu jiwa zaman sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar